JAKARTA, (B1) – Budayawan dan pendiri Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) Jaya Suprana mendapatkan Lima Gunung Award atas kontribusinya dalam memelihara keterpaduan ilmu, seni, budaya, dan agama dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, Jaya Suprana juga diakui sebagai salah seorang budayawan dan seniman yang memberikan perhatian besar pada konservasi nilai-nilai adiluhung yang berakar dari pedesaan Nusantara.
Penghargaan tertinggi dari Komunitas Lima Gunung diberikan kepada para penerima dalam Festival Lima Gunung (FLG) XII di Dusun Sudioro, Desa Baleagung, Magelang, di Jawa Tengah, Minggu (27/8/23).
Selain Jaya Suprana, Lima Gunung Award 2023 juga diberikan kepada Bhante Sir Pannavari Mahathera yang merupakan Kepala Dewan Sangha Theravada Indonesia, sineas Garin Nugroho, pemusik Franki Raden, pimpinan Ponpes Raudlatul Thalibin Rembang KH Mustofa Bisri, dalang Topeng Losari Nuranani, Wardah Hafidz, penemu ajaran Budi Daya Mei Kartawinata, dan Amat Sukandar seorang wartawan majalah berbahasa Jawa.
Tiga tokoh budaya lainnya menerima penghargaan ini secara anumerta. Mereka adalah pendiri Padepokan Seni Tjipto Boedaja Lereng Merapi alm. Raden Romo Yoso Soedarmo, seniman alm. Suprapto Suryodarmo, dan pelukis asal Cirebon alm. Rastika.
Komunitas Lima Gunung adalah kelompok budaya yang dimotori sejumlah seniman pedesaan seperti Sutanto Mendut. Sitras Anjilin, Ismanto, Hari Atmoko, Endah Pertiwi, Supardi Haryanto, dan Sujono.
Jaya Suprana sendiri berhalangan hadir dalam upacara penyerahan penghargaan di Magelang.
Jaya Suprana yang juga dikenal sebagai komposer dan pianis mengatakan, sebagai pendiri MURI dirinya kerap memberikan penghargaan kepada banyak pihak yang memberikan kontribusi positif bagi perkembangan kebudayaan, kemanusiaan, dan kebangsaan, tidak terkecuali kepada masyarakat pedesaan.
Namun baru pada tanggal 27 Agustus 2023 untuk pertama kali Jaya Suprana memperoleh anugerah penghargaan dari masyarakat pedesaan, yaitu Anugerah Lima Gunung, yang diprakarsai oleh tokoh seniman pedesaan.
Penghargaan Lima Gunung Award sangat bermakna bagi Jaya Suprana yang senantiasa sadar bahwa peradaban Nusantara bukan berakar pada kebudayaan perkotaan tetapi justru pada kebudayaan pedesaan.
“Masyarakat pedesaan sudah hadir di persada Nusantara jauh sebelum Republik Indonesia diproklamirkan kemerdekaannya oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945,” ujar Jaya Suprana lagi sambil menambahkan desa bisa hadir tanpa negara, namun tanpa desa mustahil ada negara.
Jaya Suprana juga mendalilkan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang senantiasa sadar bahwa peradaban dirinya berakar pada kebudayaan masyarakat pedesaan. (les).