Oleh : Rizky Hawari Nanda
Kondisi politik bangsa Indonesia selalu memunculkan paradigma baru bagi masyarakat dan publik saat ini, baik kepada pengamat, penikmat, bahkan sampai kepada mereka yang buta terhadap jejak politik.
Pada mereka yang buta terhadap politik maka akan memaknainya sebagai salah satu pagelaran yang dipertontonkan melalui perebutan kursi kekuasaan yang diselenggarakan oleh berbagai macam partai politik (PARPOL) yang diselenggarakan beberapa tahun sekali.
Pada penikmat hingga pengamat tentunya ada perbedaan tersendiri dalam memaknai terminologi perihal politik. Ada semacam perbedaan pemahaman tentang konteks politik yang kemudian diberlakukan oleh sample kelas tadi, pada tingkatan pengamat bahwa keadaan politik telah menjadi agenda rutin dalam mengisi kesehariannya.
Karena bagaimanapun pengamat dipaksa untuk bisa menerjemahkan terhadap realitas politik yang terjadi maupun bentuknya yang terjadi didalam konfigurasi politik itu sendiri, terlepas dari diterima atau tidak hasil dari pengamatnya tersebut.
Kita ketahui bahwa saat ini Indonesia akan sedang menghadapi pesta demokrasi yang secara langsung melibatkan berbagai pihak. Pesta demokrasi yang diselenggarakan setiap lima tahunan itu menjadi satu agenda sakral yang kemudian kita berharap dari demokrasi tersebut bisa dipetik oleh semua pihak tanpa terkecuali.
Dalam rangka menyelenggarakan demorkratisasi tentunya bangsa ini harus selalu siap menerima segala bentuk resiko dan konsekuensi dari proses menyelenggarakan yang demokratis, dan demi meminimalisir gesekan-gesekan yang terjadi ditingkatan masyarakat atau pada level-level tertentu harus adanya upaya menyamakan pemahaman tentang bagiamana demokratisasi dapat berjalan lancar di Indonesia dengan baik dan benar.
Tidak bisa dipungkiri dalam rangka menyelenggarakan negara yang demokratis selalu berjalan dengan mulus. Gejala tidak adanya upaya untuk menyamakan persepsi tentang bagaimana menyelanggarakan negara demokratis ditandai dengan adanya berbagai macam gesekan-gesekan yang terjadi ditingkatan masyarakat.
Mungkin ingatan kita bermuara pada pada kasus penistaan agama yang dilakukan oleh salah satu mantan pejabat di Ibukota beberapa waktu lalu yang menciptakan gelombang yang cukup besar, serta berbagai macam Ormas dengan dalih menuntut keadilan dan demi itu mereka beramai-ramai berangsur berkumpul menjadi gelombang politik didalam percaturan politik bangsa ini.
Bukan hanya kasus politik baru yang dapat muncul kepermukan didalam suasana menyelenggarakan demokratisasi bernegara, namun akan selalu muncul gesekan-gesekan baru selama pemahaman terhadap demokratisasi bernegara tidak berada pada prekuensi yang sama. Mungkin ini hanya salah satu contoh dan sebagian kecil dampak tidak samanya prekuensi terhadap memehami bagaimana mengatur dan mengisi negara yang demokratis.
Jika kita mendefinisikan bahwa demokrasi adalah bagian dari kebebasan, maka sangat wajar bangsa ini begitu kebablasan menyelenggarakan demokratisasi dalam kehidupan bernegara.
Bagaimana tidak, negara ini begitu kebablasan dalam mengatur segala bentuk aturan dalam konsep bernegara dan itu berdampak vital terhadap pemahaman masyarakatnya, sehinga wajar apabila kehidupan masyarakat dewasa ini dipenuhi dengan ketegangaan dan kekerasaan, bahkan saling berkampanye tentang ujaran kebencian, dan semua ini mereka kemas dengan dalil kebebasan.
Ada pemahaman yang dangkal tentang bagaimana memaknai demokrasi, pada prinsipnya demokrasi merupakan gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan hak dan kewajiban serta perilaku yang sama bagi setiap warga negara, demokrasi adalah mereka yang mayor merangkul yang minor, dan mereka yang kuat menjamin rasa keamanan dan ketentraman terhadp mereka yang lemah.
Demokrasi yang kebablasan tentunya akan menghasilkan konfigurasi politik yang tidak baik, demokrasi yang telah kebablasan akan menyebabkan buruknya realitas politik itu sendiri. Sebab kita ketahui bahwa realita dan konfigurasi politik kebangsaan akhir-akhir ini selalu diwarnai dengan ketegangan dan selalu dibumbui dengan nada-nada kekerasan, dan kesemua itu terindekasi akibat dari dangakalnya pemahan terhadap demokrasi.
Politik adalah sikap dari demokrasi, dan politik adalah bagian dari polarasi dalam berdemokrasi, dan sudah dapat dipastikan bahwa hanya demokratisasi yang sehat akan menghasilkan politik yang sehat.
Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah bersama, bahwa kehidupan politik sekarang akan menentukan generasi politik yang akan datang, dalam rangka menumbuh-kembangkan politik sebagai alat ukur untuk menciptkan keadilan bagi seluruh warga negara harus dibenahi dengan segera agar politik selalu berbuah manis.
Kika dalam rangka membenahi kehidupan berbangsa dan bernegara diilustrasi melalui konsep demokrasi, kemudian di dorong dengan semangat juang menciptakan kultur politik yang waras, tentunya golongan-golongan seperti kaum terpelajar seperti Mahasiswa tidak boleh tinggal diam dalam menyongsong akan hal ini. Ada semacam pribahasa ‘gayung bersambut” dan tentunya kelompok terpelajar ini harus menyambut wacana dengan suka cita, dengan syarat Mahasiswa tidak juga terlena bahkan masuk jebakan politik itu sendiri.
Kita ketahui bersama bahwa, wilayah kaum terpelajar adalah wilayah pemikiran, wilayah kaum intelektual adalaha wilayah gagasan, dan kedua agenda besar harus selalu bangun oleh kalangan intelktual seperti mahasiswa dan dalam mengisi demokratisasi dan mewarnai realitas politik kebangsaan yang berlangsung dewasa ini.
Jika politik adalah buah dari pemikiran, maka kaum terpelajar atau Mahasiswa harus bisa memposisikan diri sebagai antitesis jika suasana yang dilahirkan politik tersebut tidak rasional, dan di saat yang bersamaan mahasiswa harus bisa menyajikan konsep politik yang rasioanal sesuai dengan kafasitas dan kafabilitas seorang kaum terpelajar.
Kaum terpelajar harus bisa mensejahterakan bahkan melampaui pengamat-pengamat politik hari ini, bagaimana kemudian kaum terpelajar dapat menerjemahkan relitas percaturan politik dewasa ini, bagaimana kaum terpelajar bisa metranformasi penegtahuan tentang wacana politik yang berkembang, agar bagaimana kemudian kelas yang disinggung dimuka tadi, kelas yang buta terhadap kehidupan politik, kelas yang masa gagap terhadap politik kembali bergairah terhadap gegap gempita suasana politik kebangsaan saat ini.
Tidak ada juga keterangan yang membenarkan bahwa mahasiswa atau kaum terpelajar dilarang atau terlarang masuk pada ruang politik praktis, namun rasanya terlalu dini untuk memasuki kehidupan lebih jauh dalam politik praktis, disinggung diatas tadi, bahwa tugas kaum terpelajar dalam suasana politik adalah menerjemah dan mencerdaskan kelompok atau kelas-kelas lain yang masih gagap dalama berpolitik.
Bagaimanapun mahasiswa adalah pilar bagi mereka yang buta dan gagap mempersoalkan politik, terhadap dokrinisasi politik yang menyesatkan, karena bagaimanapun mereka tidak dapat membendung arus dan hegemoni politik yang dikemas dengan janji kesenangan.
Rasa optimisme harus selalu dikembangkan dan ditularkan oleh kaum terpelajar khusunya seperti Mahasiswa.
Bahwa memahami politik tidak selalu dengan nominal. Bahkan dengan cara prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai kita memulai kearah yang lebih baik, ketika pemahaman kita terhadap demokratisasi sudah masuk pada prekuensi yang lebih baik maka sudah pasti Indonesia bermartabat dimata dunia akan menjadi satu keniscayaan. (**).
Biodata Penulis:
– Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).