SERANG, (B1) – Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Banten menyarankan kepada semua media baik media elektronik maupun media massa untuk tidak menggunakan diksi yang keras atau mainstream dalam pemberitaan. Hal itu disebabkan karena diksi keras tersebut sangat mempengaruhi terhadap pemahaman pembaca terutama pemahaman agama yang keliru.
Ketua Umum FKPT Provinsi Banten, Brigjen (Pol) Purn Rumiah Kartoredjo, mengatakan pihaknya meminta kepada semua media di Provinsi Banten untuk ikut terlibat dalam menanggulangi pencegahan terorisme. Menurutnya, daerah banten jangan pernah dianggap remeh dari persoalan terorisme. Sebab, beberapa kali terjadi di wilayah banten baik sebagai pelaku, korban maupun terduga.
“Tentu kerjasama ini untuk memberikan edukasi kepada masyarakat, bagaimana pesan dari program program pencegahan terorisme di Banten bisa tersampaikan,” katanya saat ditemui di Tembong Kota Serang, Rabu 13 September 2017.
Permintaan tidak menampilkan atau memberitakan diksi radikal itu, kata dia, salah satu upaya FKPT dalam memberantas paham paham ajaran islam garis keras yang intens menggunakan media sebagai alat propaganda. Ia menegaskan, pihaknya juga melakukan upaya lain dengan sering dilakukan sosialisasi kepada tokoh masyarakat, ulama dan masyarakat langsung.
“Kita tidak boleh mengucilkan masyarakat paling bawah, karena mereka mudah sekali diajak, misalnya dengan ketidak mengertian mereka dia di iming imingi atau ditawari dengan hal yang sebenarnya mereka tidak memahami. Kita harus mengajak sampai ke akarnya agar tidak datang lagi radikalisme, tidak adanya terorisme,” ujarnya.
Lebih jauh, dia menyebutkan, elemen yang paling rentan disusupi ajaran keliru oleh kelompok radikal adalah siswa sisiwi SLTA. Menurutnya, berdasarkan informasi yang dapat dia peroleh, tingkat SMA paling banyak memiliki idiologi mainstream.
Sementara itu, Ahli Pers FKPT, Willy Pramudya, mengatakan hasil pertemuan dengan masyarakat pers pihaknya telah membuat desiminasi pedoman peliputan terorisme bagi reporter atau wartawan. Namun, kenyataanya di tahun 2016 lalu, saat peristiwa Bom Tamrin di Jakarta ada 10 lembaga penyiaran terdiri dari perusahaan penyiaran swasta dan satu milik negara ditegur oleh komisi Penyiran Indonesia (KPI) karena menyiarkan atau memberitakan barang yang tidak ada yang mengakibatkan masyarakat Indonesia panik.
“Saya sudah mencari data, tahun 2012, pengaduan ke dewan pers cukup tingi mencapai 500 di tahun 2012, dan pada tahun tahun 2016 mencapai 1000 lebih, dari jumlah itu, 80 persen soal kode etik,” tuturnya. (Arai).