CILEGON, (B1) – Pada Senin, 9 Juli 1888 malam, serangan umum (perlawanan) masyarakat Banten, terhadap Hindia Belanda di Kota Cilegon berlangsung heroik dan begitu fenomenal hingga peristiwa tersebut dikenal sebagai peristiwa Geger Cilegon.
Berlangsungnya perlawanan pada waktu itu diawali dengan berkumpulnya para Kiyai yang berada di Cilegon, seperti Haji Tubagus Ismail, Haji Usman dari Arjawinangun, Kyai Haji Usman dari Tunggak, Haji Abdul Gani dari Beji, Haji Nuriman dari Kaligandu, Kyai Haji Wasyid.
Dengan memekikkan kalimat takbir, mereka menyerbu beberapa tempat di Cilegon.
Pasukan dibagi dalam beberapa kelompok.
Kelompok pertama dipimpin oleh Lurah Jasim, Jaro Kajuruan, menyerbu penjara untuk membebaskan para tahanan.
Kelompok kedua dipimpin oleh Haji Abdul Gani dari Beji dan Haji Usman dari Arjawinangun menyerbu kepatihan, dan kelompok ketiga dipimpin oleh Kiyai Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Tunggak menyerang rumah Asisten Residen.
Sedangkan Haji Wasyid dengan beberapa pengawalnya tetap di Jombang Wetan memonitor segala kegiatan penyerbuan.
Dalam keadaan yang kacau itu, Henri Francois Dumas, juru tulis di kantor Asisten Residen, dapat dibunuh oleh Haji Tubagus Ismail, demikian juga Raden Purwadiningrat, ajun kolektor, Johan Hendrik Hubert Gubbels, asisten residen Anyer, Mas Kramadireja, sipir penjara Cilegon, dan Ulric Bachet, kepala penjualan garam, semuanya adalah orang-orang yang tidak disenangi rakyat.
Sedangkan Patih Raden Pennah, seorang pegawai negeri yang kebelanda-belandaan lolos dari kematian, karena dia sedang di serang pada waktu itu.
Seperti yang sudah direncanakan semula, berbarengan dengan kejadian di Cilegon ini, di beberapa tempat juga meletus perlawanan, seperti di Bojonegara, Balegendong, Krapyak, Grogol, Mancak dan Toyomerto.
Di daerah Serang, penyerangan dipimpin oleh Haji Muhammad Asyik, seorang ulama dari Bendung, Haji Muhammad Hanafiah dari Trumbu dan Haji Muhidin dari Cipeucang.
Pusat-pusat kegiatan mereka ialah Bendung, Trumbu, Kubang, Kaloran dan Keganteran.
Sehari semalam kekacauan tidak dapat diatasi, Cilegon dapat dikuasai sepenuhnya oleh para pejuang.
Tetapi seorang babu (pembantu rumah tangga) Goebbels dapat melarikan diri ke Serang dan membawa kabar mengenai kejadian di Cilegon.
Mendengar hal tersebut, Bupati bersama Kontrolir dengan 40 orang serdadu yang dipimpin oleh Letnan I Bartlemy berangkat ke Cilegon dan terjadilah pertempuran hebat antara para pejuang dengan tentara kolonial yang memang sudah terlatih baik, sehingga akhirnya perlawanan dapat dipatahkan.
Haji Wasyid sebagai pemimpin perjuangan dihukum gantung, sedangkan yang lainnya dihukum buang.
Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukit Tinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan banyak lagi lainnya dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Menado, Ambon, dan Saparua.
Semua pimpinan perlawanan yang dibuang berjumlah sebanyak 94 orang.
Salah seorang Tokoh Cilegon Helldy Agustian dan juga salah satu keturunan dari KH Arsyad Thawil (salah satu tokoh Geger Cilegon yang diasingkan) dalam penuturannya kepada Bantensatu mengatakan, bahwa peristiwa merupakan peristiwa sejarah yang harus dikenang sebagai kisah kepahlawanan dan perjuangan.
“Jas Merah, jangan sesekali melupakan sejarah. Peristiwa Geger Cilegon merupakan perlawanan besar masyarakat terhadap Hindia Belanda, karena tanpa ada perjuangan dari para ulama di Cilegon tidak akan seperti ini, di daerah luar saja sangat tahu betul tentang sejarah 9 Juli 1888 masa kita yang masyarakat Cilegon tidak tahu bahkan lupa tentang sejarah geger Cilegon,” ucapnya, Minggu (9/7/2017) melalui sambungan telepon.
Helldy yang merupakan keturunan dari pejuang Geger Cilegon KH Arysad Thawil berharap agar pemerintah daerah, untuk melestarikan dan membuat museum Geger Cilegon agar masyarakat Cilegon bisa terus mengenang dan menghormati para pejuang dulu di kota Cilegon.
“Setidaknya tokoh-tokoh Geger Cilegon diabadikan menjadi nama jalan. KH Arsyad Thawil saja di tempat pengasingannya diabadikan menjadi nama masjid,” jelasnya.
Untuk diketahui, Syekh Mas Mohammad Arsyad Thawil Al-Bantani Al-Jawi atau Syekh Arsyad Thawil (lahir di Desa Lempuyang, Tanara, Serang, Banten, pada Januari 1851 – meninggal di Manado, Sulawesi Utara, pada tanggal 19 Maret 1934 pada umur 82–83).
Beliau adalah ulama sekaligus pejuang dalam pertempuran Geger Cilegon 1888 di Banten. Syekh Arsyad adalah murid dari Syekh Nawawi al-Bantani, seorang ulama dari Banten yang menjadi Imam Masjidil Haram, Mekkah. (Baehaqi Rizal).